Bulan suci Ramadhan sudah di depan mata. Inilah bulan yang sangat
diagungkan oleh umat Islam. Karena dalam bulan ini Tuhan membuka pintu
maaf sebesar-besarnya. Semua bentuk dosa dapat dihapuskan, karena bulan
ini adalan bulan pencucian dosa. Tak ketinggalan, pintu rahmat juga akan
dibuka lebar-lebar. Jadi segala amalan yang dilakukan pada bulan
Ramadhan akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Maka tidak heran
kalau umat Islam selalu dianjurkan untuk meningkatkan ibadah di bulan
ini.
Tapi sadarkah Anda, kalau bulan suci ini ibarat
sebuah panggung besar. Di panggung itu kita laksana bermain teater dan
peran yang paling banyak dimainkan adalah peran “merasa lebih Islami”.
Pada bulan ini mesjid tiba-tiba penuh. Pengajian tiba-tiba sesak dengan
jamaah. Asma Allah seketika berkumandang dimana-mana. Padahal
sebelumnya, mesjid lengang. Pengajian terasa membosankan. Dan asma
Allah.. siapa yang ingat kepadanya?
Tampaknya semangat
ramadhan muncul dalam wajah yang berbeda. Semua orang tiba-tiba bicara
soal agama. Mulai dari pejabat, politisi sampai artis sinetron. Semua
berusaha untuk tampil sesuci mungkin di bulan ini. Padahal di bulan yang
lain belum tentu seperti itu. Sebagai contoh, perhatikan televisi anda.
Pasti mudah sekali membedakan tampilan isi televisi kita ketika bukan
bulan ramadhan, dan bukan pada bulan ramadhan.
Artis-artis
kesayangan kita tiba-tiba tampil dengan balutan busana muslim. Yang
pria tampak bersahaja dengan sarung, baju koko dan pecinya. Sementara
yang perempuan tampil mempesona dengan jilbab dan baju kurungnya. Tutur
bahasanya pun jadi santun dan sopan. Padahal, di luar bulan ramadhan
mereka terbiasa tampil dengan tank top, rok mini atau baju ketat. Yang
pria pun tak kalah gaya dengan yang perempuan.
Sinetron
kita tiba-tiba mengusung tema Islam, dengan judul yang mengambil
nama-nama perempuan Islam. Seperti Nurjannah, Aisyah dan sebagainya.
Dengan seketika istilah-istilah seperti “antum”, “ukhti” dan “ustadz”
tiba-tiba akrab dalam telinga kita. Sinetron kita menjelma menjadi
sinetron yang sangat islami. Penonton dibuat seakan-akan kalau sudah
menontonnya, iman jadi bertambah tebal. Padahal inti ceritanya sama
persis dengan sinetron di luar bulan ramadhan. Kalau tidak berebut pria,
yah berebut perempuan. Perannya pun setali tiga uang dengan sinetron
non-ramadhan. Ibu mertua yang jahat, saudara perempuan yang licik, ayah
yang bijaksana dan si miskin yang menderita.
Mimpi pun
tetap dijual dalam sinetron-sinetron ramadhan itu. Sama seperti sinetron
pada umumnya. Pemeran prianya selalu masih muda dan mapan. Lengkap
dengan rumah mewah dan mobil berkelasnya. Dan kata-kata kasar dan makian
tidak ketinggalan. Tapi bedanya di sinetron ramadhan ini, ada kata-kata
seperti “Masya Allah”, “Innalillahi”, dan “Allahu Akbar”
Itu
di dunia sinetron. Di dunia keartisan lainnya, tidak jauh berbeda.
Masih di televisi, hampir semua artis penyanyi banting setir jadi
penyanyi lagu-lagu bernuansa rohani. Mereka yang bisanya tampil urakan
dan bergaya agak sedikit dipaksakan, tiba-tiba tampil dengan balutan
busana muslim. Yang paling banyak, mengenakan baju koko warna putih,
lengkap dengan selendang yang melingkar di leher, dan sebagian ada yang
memakai peci. Mereka yang biasanya menyanyikan lagu bertema jatuh cinta,
patah hati, perselingkuhan dan kasih tak sampai, tiba-tiba
mendendangkan soal tobat, pasrah dan kecintaan pada Sang Khalik. Sungguh
sebuah keadaan yang terbalik 180 derajat.
Melihat
fenomena seperti ini, apa yang ada dalam benak anda? Kalau saya
menangkap dua hal. Kemunafikan dan upaya komersialisasi agama.
Kemunafikan terlihat jelas pada bulan ramadhan. Mereka yang terbiasa
hidup glamor dan/atau terbiasa menikmati dunia gemerlap, tiba-tiba
muncul dalam balutan baju muslim hanya karena ini bulan ramadhan. Itu
yang terlihat di depan televisi. Di belakang kamera siapa yang tahu?
Apakah mereka tetap konsisten dengan semangat keislamannya, atau malah
sebaliknya.
Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya tidak
sulit. Lihat saja bagaimana kehidupan mereka setelah bulan ramadhan.
Apakah mereka tetap dalam balutan busana muslim? Apakah tutur kata
mereka tetap sopan dan santun? Apakah mereka tetap berbicara soal agama?
Anda bisa menilai sendiri.
Kedua, komersialisasi agama.
Sebagaimana kita tahu, umat Islam sangat antusias dalam menyambut bulan
suci ramadhan. Nah, antusiasme inilah yang dimanfaatkan para pemilik
modal untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya di bulan ramadhan.
Maka dibuatlah sinetron-sinetron bertemakan islam. Lengkap dengan
pemainnya yang tiba-tiba berbusana muslim. Selain itu, keluarlah album
religi dari artis kesayangan anda.
Tak ketinggalan iklan.
Di bulan puasa ini muncul sejumlah iklan versi ramadhan. Tak jauh
berbeda dengan sinetron, bintang iklannya pun tiba-tiba berjilbab dan
berpeci. Tema yang ditawarkan pun sebenarnya agak dipaksakan dengan
bulan ramadhan. Sebagai contoh, apa hubungannya rokok dengan bulan
ramadhan? Padahal kita semua tahu kalau merokok itu hukumnya haram pada
bulan puasa. Tapi karena ini adalah bulan yang penuh rahmat, maka iklan
rokok pun dibuat dengan nuansa ramadhan/Islami.
Semua yang
saya sebutkan diatas merupakan bentuk komersialisasi agama. Antusiasme
umat Islam yang sedang menanjak dalam bulan ramadhan ini dijadikan alat
oleh pemegang modal untuk meraup untung sebesar-besarnya. Meraup untung
sebenarnya sah-sah saja dalam berdagang. Tapi kalau sampai mengkerdilkan
sebuah agama yang agung, tentu lain persoalannya.
Itulah
sekelumit paparan mengenai teater di bulan Ramadhan. Bulan ini memang
suci. Peran apakah yang Anda mainkan dalam teater sebulan penuh ini?
Apakah Anda ikut terbuai dengan semangat ramadhan yang semu? Atau Anda
berupaya menemukan makna yang paling hakiki dari bulan ini? Semoga Anda
dan saya masuk dalam pilihan yang terakhir.
Selamat berpuasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar