Minggu, 15 Juli 2012

Masih ingatkah Anda Tentang Budi Pekerti?

Malam minggu lalu, saya bertemu dan berbincang dengan sejumlah penganut penghayat kepercayaan di Bekasi, Jawa Barat. Kami berbicara panjang lebar. Sejatinya, kedatangan saya hanya ingin menyampaikan niat untuk melakukan peliputan mengenai diskriminasi pendidikan yang dialami oleh anak-anak penghayat di sekolah.

Tapi pembicaraan mengalir deras, tak terbendung di rencana peliputan itu saja. Pembicaraan meluas hingga ke soal apa itu penghayat, seperti apa ritual yang mereka lakukan, bagaimana konsep ketuhanan menurut mereka, seperti apa kearifan dan pandangan hidup yang mereka jalani.

Soal ketuhanan, tidak ada yang istimewa. Sama seperti agama lainnya, mereka juga mengakui adanya Tuhan sebagai satu-satunya entitas yang harus disembah dan dipuja. Beranjak ke soal ritual. Bagian ini jelas bisa menyulut kontroversi. Sebab, ritual ibadah yang mereka lakukan sangat jauh berbeda dengan ritual keagamaan pada umumnya.

Dalam kepercayaan mereka, pemujaan kepada Tuhan tidak hanya dibatasi oleh gerakan monoton, atau bacaan-bacaan yang harus hapal dan dikumandangkan. Bagi mereka, ibadah pada Tuhan adalah serangkaian pemikiran dan tindakan manusia yang dilandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, budi pekerti, rasa hormat,  ajakan pada kebaikan serta pantangan berbuat kejahatan. Semua itu harus terwujud pada perilaku manusia sepanjang hari, tanpa mengenal waktu dan tempat.

Namun satu hal yang menarik adalah bagaimana mereka menjunjung tinggi budi pekerti sebagai landasan utama dalam hidup di dunia. Ini terejawantahkan dalam pola hidup keseharian. Dalam pandangan mereka, budi pekerti adalah bekal utama untuk menciptakan hidup yang damai dan harmonis. Sebab dalam wilayah budi pekerti terdapat ajaran untuk saling menghormati dan saling menghargai antar sesama manusia.

Dalam budi pekerti, manusia juga diajarkan sopan santun, menjauhi permusuhan, menghargai tamu, mengasihi yang lemah, dan lain-lain. Sejenak saya berpikir, nilai-nilai itulah yang sudah semakin terkikis saat ini. Ruh budi pekerti tergantikan oleh sikap arogan, sikap paling benar, intoleran. Budi pekerti juga kerap tergantikan dengan perangai yang kasar, ucapan yang menyakiti, serta pikiran yang sempit, picik dan jumud.

Inilah realitas kita saat ini. Budi pekerti seakan jadi barang langka, karena tergerus oleh pandangan hidup komunal yang masing-masing merasa paling benar dan paling berhak diatas kelompok lainnya. Dinginnya Sabtu malam di Bekasi tidak terasa karena tertutupi oleh hangatnya suasana di rumah ibadah penghayat kepercayaan tersebut. Saya yang berbeda dengan mereka tetap dianggap saudara, disambut oleh senyum, dan diberikan tutur kata yang santun. Malam itu, sebagai minoritas di lingkungan mereka, saya sama sekali tidak merasa dihakimi atau dipojokkan.

Yah, itulah budi pekerti. Dua kata yang sudah semakin jarang terdengar saat ini. Karena sudah semakin sedikit juga orang yang mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Utan Kayu, 4 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar