Takut dan cemas. Itulah yang saya rasakan ketika menemani istri
melahirkan pada 11 Oktober 2010. Takut karena ini adalah pertama kalinya saya
melakukannya. Disamping itu, saya juga tidak tahu apakah saya kuat
melihat ceceran darah bercampur lendir yang akan keluar dari bagian
vital istri saya. Cemas karena proses persalinan cukup rumit dan memakan
waktu panjang. Kalau dihitung dari awal istri saya kontraksi hingga
persalinan selesai, hampir 24 jam. Tapi sebagai seorang suami dan calon
ayah, saya tidak mau melewatkan momen ini.
Saya melihat
betul betapa beratnya upaya istri saya dalam melahirkan. Mulai dari
kontraksi yang terasa setiap 10 menit sekali, sampai yang dua menit
sekali. Dan itu terjadi selama hampir 24 jam. Bisa anda bayangkan
berapa kali kontraksi itu terjadi.
Ketika kontraksi
datang, ia remas kuat-kuat tangan saya. Selama kurang lebih satu menit
ia menahan rasa mulas yang hebat. Matanya terpejam, mulutnya mengerang,
dan keringat bercucuran di sekujur tubuh. Saya bingung luar biasa saat
itu. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain terus menemani dan
menyemangati istri saya agar teus bertahan. Saat itu, bidan pun belum
bisa mengambil tidakan apa-apa, sebab waktu melahirkan belum tiba.
Tangis
istri saya pun pecah ketika kontraksi sudah terasa setiap 5 menit
sekali. Semakin sakit rasanya, kata dia. Istriku hampir menyerah.
Tubuhnya sudah lemas menahan sakit yang semakin menjadi-jadi. Kondisi
fisiknya semakin tidak memungkinkan mengingat semalaman dia belum tidur
karena kontraksi terjadi mulai jam 1 dini hari. “Ya Tuhan, kuatkanlah
istriku,” begitu doaku disampingnya.
Keadaan semakin
tegang ketika bidan menyatakan waktu melahirkan sudah tiba. Ibu bidan
langsung mengeluarkan alat-alat, yang menurutku menyeramkan. Seperti
pisau, gunting, alat penjepit dan beberapa peralatan lainnya yang
terbuat dari besi. Mau diapakan istriku? Tanya saya dalam hati. Erangan
istri saya semakin kuat. Sakitnya kini sudah terasa terus menerus. Tidak
ada lagi jeda waktu. Ia sudah bisa merasakan kepala si jabang bayi
menyembul di selangkangannya.
Tapi sang bidan sangat
tenang di dalam keadaan seperti itu. Ketenangannya terasa menyejukkan
hati saya beserta istri. Maklum, sudah 30 tahun dia menjadi bidan.
Dengan nada rendah dia berkata, “Terus.. terus.. sedikit lagi. Iya,
bagus.. terus.. terus,”.
Namun istri saya terus mengerang
kesakitan. Otot-ototnya terasa menegang setiap kali ia berusaha
mendorong sang bayi keluar dari rahimnya. Keringatnya pun terus
bercucuran. Raut mukanya lelah menahan sakit. Sampai akhirnya, keluarlah
anakku. Tangis melengkingnya langsung pecah mengisi seluruh ruang
persalinan. Saya langsung merasa lega bercampur haru. Seraya mengusap
air mata dan keringat istri saya, saya berkata, “Kamu hebat.. anak kita
sudah lahir,” Saya pun tak kuasa menahan air mata.
Satu
hikmah yang bisa saya bagi dari pengalaman menemani istri melahirkan.
Hormatilah perempuan, sayangi dan jangan sakiti mereka. Siapapun itu,
entah itu teman anda, adik, kakak, terlebih ibu anda. Karena mereka
bertaruh nyawa hanya untuk menghadirkan nyawa lainnya di dunia ini. Bagi
anda yang sudah punya istri dan juga memiliki pengalaman menemani istri
melahirkan, saya yakin anda akan semakin sayang dengan istri anda.
Kalau tidak, kewarasan anda sebagai laki-laki patut dipertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar