Akhir-akhir ini pikiran saya kembali terusik oleh
tindakan intoleransi beragama. Melalui sebuah surat elektronik, saya
menerima informasi bahwa terjadi lagi kasus pelarangan ibadah dan
pendirian gereja. Kali ini (kembali) terjadi di Bekasi, Jawa Barat.
Gereja HKBP Setu, di Desa Tamansari, Bekasi dilarang berdiri oleh
sekelompok orang yang menamakan dirinya Forum Umat Islam Tamansari.
Seingat saya, ini adalah ketiga kalinya masyarakat Bekasi menolak
pendirian gereja, atau mungkin lebih. Sebelumnya ada gereja HKBP
Ciketing dan HKBP Filadelfia. Kasus ini menambah daftar panjang kasus
pelarangan pendirian gereja di Indonesia. Kasus lainnya, sebut saja, GKI
Taman Yasmin, Bogor.
Aaarrghh…!!!! Rasanya kepala ini mau pecah
mengetahui kenyataan tersebut. Kenapa sekelompok orang yang mengaku umat
Islam kerap kali menghalang-halangi umat agama lain yang ingin
beribadah? Apa sih yang jadi keberatan mereka?
Hal lain yang mungkin jadi keberatan umat Islam terhadap pendirian gereja dan ibadah umat kristiani adalah, “alih fungsi” rumah tinggal jadi rumah ibadah. Menurut saya alasan ini aneh. Entah logika apa yang dipakai orang-orang Islam itu, sampai mereka mempermasalahkan rumah tempat tinggal dijadikan tempat ibadah.
Harusnya orang-orang yang mengaku Islam itu
berpikir. Yang dilakukan orang nasrani tersebut, bukan menjadikan rumah
tinggal sebagai rumah ibadah, tapi beribadah di rumah. Titik, itu saja.
Saya sudah beberapa kali melihat langsung kasus pelarangan pendirian
gereja. Awalnya umat Nasrani tersebut tidak memang tidak punya gereja.
Mereka ibadah berpindah-pindah dari satu rumah jemaat, ke rumah lainnya.
Ketika jumlah jemaat semakin banyak, rumah yang biasa digunakan sebagai tempat ibadah tidak lagi muat. Maka mereka bersepakat mendirikan gereja.
Jadi ibadah mereka memang dimulai dari rumah. Dan
menurut saya tidak ada yang salah dengan hal itu. Wong, selama ini orang
Islam juga selalu beribadah di rumah, bukan begitu? Sholat di rumah,
baca Al Qur’an di rumah. Jadi apa masalahnya? Kenapa kalau orang Kristen
beribadah di rumah dipermasalahkan, sementara kita orang Islam tidak
pernah merasa bersalah kalau beribadah di rumah? Aneh.
Harusnya orang Islam itu berpikir dan sedikit
berempati. Bagaimana kira-kira rasanya kalau kita ingin mendirikan
mesjid tapi dilarang? Sampai sini mungkin kita masih bisa menoleransi.
Tapi bagaimana rasanya kalau kemudian kita mau sholat di rumah juga
dilarang? Lantas, dimanapun kita ingin sholat akan dilarang pula. Apakah
orang-orang yang mengaku Islam tersebut tidak pernah berpikir sampai
kesitu?
Sebagai contoh, saya muslim. Maka saya boleh shalat dimanapun, di kantor, di pusat perbelanjaan, di tepi sungai, di atas gunung, dimanapun. Dan saya tidak perlu minta ijin dari siapapun untuk melakukannya. Kecuali, misalnya, ketika dalam keadaan terdesak, saya terpaksa sholat di atas trotoar. Maka, setidaknya, saya harus minta ijin dengan orang lain yang hendak melewati trotoar tersebut, sebab itu berpotensi menganggu ketertiban umum.
Kalau kita kaitkan antara ibadah dengan ketertiban umum, saya rasa ormas-ormas Islam adalah pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran. Lihat saja, ketika Maulid Nabi tiba, berapa banyak ormas Islam, atau umat muslim pada umumnya, yang mengadakan acara pengajian di pinggir jalan? Beberapa diantaranya malah menutup sebagian ruas jalan umum, sehingga tercipta kemacetan. Ini sudah jelas menganggu ketertiban umum. Itu baru acara peringatan Maulid Nabi, belum dihitung acara pengajian lain, seperti tahlilan, istighotsah, dan yang sejenisnya.
Jadi alasan melarang umat non-muslim beribadah di dalam rumah karena mengubah fungsi rumah tinggal jadi rumah ibadah sangat tidak masuk akal. Umat Islam ini terkadang hanya mau menang sendiri. Mentang-mentang mayoritas, malah jadi berlaku seenaknya terhadap kelompok minoritas.
Saya rasa orang-orang yang mengaku beragama Islam tersebut tengah terjangkit penyakit mental yang sangat akut. Yakni penyakit bermental jumawa, ingin menang sendiri, takabur, sok jago, sok merasa paling benar, paling berhak dan yang sejenisnya. Penyakit ini sudah menyebar di hati dan pikiran umat Islam, di manapun. Baik di kota maupun di desa
Namun justru inilah tantangan utama para ustad dan mubaligh. Mereka harus mencari cara bagaimana umat Islam bisa terbebas dari penyakit mental tersebut. Sebab, tanpa disadari, penyakit mental telah membuat wajah Islam semakin buruk. Karena banyak muslim yang sakit mental, maka citra Islam sebagai agama yang ramah malah memudar. Dan ini adalah sebuah kondisi yang tidak menguntungkan bagi Umat Islam secara umum.
Kalau saja Rasulullah masih hidup, saya yakin dia pasti akan menangis melihat umatnya seperti ini. Sebab penyakit mental yang menggerogoti umat Islam saat ini sangat menyimpang jauh dari ajaran-ajaran yang ia bawa.
Tambun, 10 Februari 2013
Pukul 01.35