Minggu, 01 Desember 2013

Alergi Kondom?

Banyak orang yang mengecam program Pekan Kondom Nasional yang digagas Kementerian Kesehatan. Program yang digelar dari tanggal 1 sampai 7 Desember 2013 itu adalah kampenye penggunaan kondom sebagai salah satu upaya untuk mencegah penularan virus HIV-Aids. Program dilakukan dengan membagi-bagikan kondom gratis pada masyarakat. Ada yang menyatakan kalau program tersebut adalah bentuk promosi terhadap seks bebas, ada juga yang mengaitkan dengan dalil-dalil agama tentang zina.

Menurut saya Kementerian Kesehatan tidak salah mengadakan Pekan Kondom Nasional, karena tujuannya adalah menekan jumlah penderita HIV-Aids di Indonesia. Dan memang sudah menjadi tugas Kemenkes untuk mencegah bertambahnya angka penderita HIV-Aids di Indonesia. Perlu ditekankan lagi, memang sudah kewajiban Kementerian Kesehatan untuk melakukan itu.

Namun pertanyaannya, apakah benar Pekan Kondom Nasional adalah bentuk promosi terhadap seks bebas? Di mana bentuk promosinya? Kalau kampanye menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV-Aids dikatakan sebagai bentuk legalisasi seks bebas, lantas apakah kampanye penggunaan sabuk pengaman dalam kendaraan dapat dikatakan sebagai anjuran untuk kebut-kebutan? Saya rasa tidak. Intinya adalah pencegahan HIV-Aids, tak lebih dari itu.

Soal perzinahan, sepanjang sepengetahuan saya, Kementerian Kesehatan tidak pernah menganjurkan hal tersebut pada siapapun. Sebaliknya, Kemenkes bersama Kemenko Kesra dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), malah berkampanye untuk meninggalkan seks bebas dengan menggagas program Generasi Berencana atau Genre.

Program ini menekankan bahwa, untuk mendapatkan masa depan yang lebih gemilang, remaja harus fokus pada pendidikan, keluarga dan kesehatan. Sama sekali tidak ada perzinahan di dalamnya. Sebab, apabila remaja melakukan zina, maka itu sama saja akan merusak masa depannya, sebab zina masuk dalam kategori seks beresiko. Dan seks beresiko berpotensi menularkan virus HIV-Aids. Lagi-lagi ini yang dicegah oleh Kementerian Kesehatan.

Kalangan agamis menyatakan, kondom bukan solusi untuk mencegah penularan HIV-Aids. Menurut mereka akar masalahnya adalah perzinahan atau seks bebas. Jadi pencegahan HIV-Aids harus dimulai dengan membentuk masyarakat yang agamis, menciptakan generasi yang berakhlak mulia sehingga mereka menjauhkan seks bebas dan terhindar dari penularan HIV-Aids. Saya sepakat dengan pernyataan itu. Namun pertanyaannya, apakah membentuk masyarakat agamis dan berakhlak mulia adalah domainnya Kementerian Kesehatan? Saya rasa tidak.

Kita punya Kementerian Agama. Di kementerian itu ada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat. Saya rasa tugas membentuk masyarakat agamis dan berakhlak mulia lebih tepat diemban oleh lembaga tersebut. Namun sekarang kenyataannya apa? Dalam mencegah penularan HIV-Aids melalui peningkatan kapasitas keagamaan, adakah peran itu dijalankan oleh Kementerian Agama? Saya sih melihatnya tidak ada. Tapi kalau ada diantara para pembaca ada yang mengetahuinya, tolong informasikan pada saya.

Jadi intinya, sebelum buru-buru membidik Kementerian Kesehatan dan menjadikannya kambing hitam dalam Pekan Kondom Nasional, cobalah melihat masalah ini dengan komprehensif. Paling tidak upaya kemenkes untuk menekan angka penderita HIV-Aids di Indonesia patut diapresiasi. Sebab program itu adalah sebuah upaya konkrit, bukan hanya sekedar gagasan atau wacana.

Saya pribadi mendukung program tersebut dan menolak seks bebas dalam bentuk apapun. Saya juga akan menganjurkan pada anak-anak saya kelak untuk setia dan hanya melakukan hubungan intim dengan pasangan yang sah. Nah sekarang, daripada melancarkan kritik pada program Pekan Kondom Nasional, lebih baik kita bertanya pada diri sendiri. Apa yang sudah kita lakukan untuk meminimalisir penyebaran virus HIV-Aids di Indonesia? Atau paling tidak di lingkungan kita?

Sudah ketemu jawabannya? :)

Minggu, 10 Februari 2013

Mental Rapuh Penolak Rumah Ibadah

Akhir-akhir ini pikiran saya kembali terusik oleh tindakan intoleransi beragama. Melalui sebuah surat elektronik, saya menerima informasi bahwa terjadi lagi kasus pelarangan ibadah dan pendirian gereja. Kali ini (kembali) terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Gereja HKBP Setu, di Desa Tamansari, Bekasi dilarang berdiri oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Forum Umat Islam Tamansari.

Seingat saya, ini adalah ketiga kalinya masyarakat Bekasi menolak pendirian gereja, atau mungkin lebih. Sebelumnya ada gereja HKBP Ciketing dan HKBP Filadelfia. Kasus ini menambah daftar panjang kasus pelarangan pendirian gereja di Indonesia. Kasus lainnya, sebut saja, GKI Taman Yasmin, Bogor.
Aaarrghh…!!!! Rasanya kepala ini mau pecah mengetahui kenyataan tersebut. Kenapa sekelompok orang yang mengaku umat Islam kerap kali menghalang-halangi umat agama lain yang ingin beribadah? Apa sih yang jadi keberatan mereka?

Mungkin jawabannya adalah “Kristenisasi”. Ah, kenapa harus takut sih dengan kristenisasi? Kalau iman kita kuat, mau ditodong senjata sekalipun, kita tidak akan pindah agama. Isu kristenisasi justru harusnya menjadi momentum bagi umat Islam (terutama para ulamanya) untuk berintrospeksi diri. Kenapa ada orang Islam yang begitu mudah “dibujuk” untuk pindah agama?

Hal lain yang mungkin jadi keberatan umat Islam terhadap pendirian gereja dan ibadah umat kristiani adalah, “alih fungsi” rumah tinggal jadi rumah ibadah. Menurut saya alasan ini aneh. Entah logika apa yang dipakai orang-orang Islam itu, sampai mereka mempermasalahkan rumah tempat tinggal dijadikan tempat ibadah.
Harusnya orang-orang yang mengaku Islam itu berpikir. Yang dilakukan orang nasrani tersebut, bukan menjadikan rumah tinggal sebagai rumah ibadah, tapi beribadah di rumah. Titik, itu saja. 

Saya sudah beberapa kali melihat langsung kasus pelarangan pendirian gereja. Awalnya umat Nasrani tersebut tidak memang tidak punya gereja. Mereka ibadah berpindah-pindah dari satu rumah jemaat, ke rumah lainnya. Ketika jumlah jemaat semakin banyak, rumah yang biasa digunakan sebagai tempat ibadah tidak lagi muat. Maka mereka bersepakat mendirikan gereja. 

Jadi ibadah mereka memang dimulai dari rumah. Dan menurut saya tidak ada yang salah dengan hal itu. Wong, selama ini orang Islam juga selalu beribadah di rumah, bukan begitu? Sholat di rumah, baca Al Qur’an di rumah. Jadi apa masalahnya? Kenapa kalau orang Kristen beribadah di rumah dipermasalahkan, sementara kita orang Islam tidak pernah merasa bersalah kalau beribadah di rumah? Aneh.

Harusnya orang Islam itu berpikir dan sedikit berempati. Bagaimana kira-kira rasanya kalau kita ingin mendirikan mesjid tapi dilarang? Sampai sini mungkin kita masih bisa menoleransi. Tapi bagaimana rasanya kalau kemudian kita mau sholat di rumah juga dilarang? Lantas, dimanapun kita ingin sholat akan dilarang pula. Apakah orang-orang yang mengaku Islam tersebut tidak pernah berpikir sampai kesitu?

Kita tinggal di negara yang bernama Indonesia. Dan di Indonesia sama sekali tidak ada dasar hukum yang mengatur dimana umat beragama harus beribadah. Sama sekali tidak ada aturan yang mengatur hal itu. Semua umat agama bebas melakukan ibadah dimanapun, asalkan tidak mengganggu ketertiban umum.

Sebagai contoh, saya muslim. Maka saya boleh shalat dimanapun, di kantor, di pusat perbelanjaan, di tepi sungai, di atas gunung, dimanapun. Dan saya tidak perlu minta ijin dari siapapun untuk melakukannya. Kecuali, misalnya, ketika dalam keadaan terdesak, saya terpaksa sholat di atas trotoar. Maka, setidaknya, saya harus minta ijin dengan orang lain yang hendak melewati trotoar tersebut, sebab itu berpotensi menganggu ketertiban umum.

Kalau kita kaitkan antara ibadah dengan ketertiban umum, saya rasa ormas-ormas Islam adalah pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran. Lihat saja, ketika Maulid Nabi tiba, berapa banyak ormas Islam, atau umat muslim pada umumnya, yang mengadakan acara pengajian di pinggir jalan? Beberapa diantaranya malah menutup sebagian ruas jalan umum, sehingga tercipta kemacetan. Ini sudah jelas menganggu ketertiban umum. Itu baru acara peringatan Maulid Nabi, belum dihitung acara pengajian lain, seperti tahlilan, istighotsah, dan yang sejenisnya.

Jadi alasan melarang umat non-muslim beribadah di dalam rumah karena mengubah fungsi rumah tinggal jadi rumah ibadah sangat tidak masuk akal. Umat Islam ini terkadang hanya mau menang sendiri. Mentang-mentang mayoritas, malah jadi berlaku seenaknya terhadap kelompok minoritas.

Saya rasa orang-orang yang mengaku beragama Islam tersebut tengah terjangkit penyakit mental yang sangat akut. Yakni penyakit bermental jumawa, ingin menang sendiri, takabur, sok jago, sok merasa paling benar, paling berhak dan yang sejenisnya. Penyakit ini sudah menyebar di hati dan pikiran umat Islam, di manapun. Baik di kota maupun di desa

Namun justru inilah tantangan utama para ustad dan mubaligh. Mereka harus mencari cara bagaimana umat Islam bisa terbebas dari penyakit mental tersebut. Sebab, tanpa disadari, penyakit mental telah membuat wajah Islam semakin buruk. Karena banyak muslim yang sakit mental, maka citra Islam sebagai agama yang ramah malah memudar. Dan ini adalah sebuah kondisi yang tidak menguntungkan bagi Umat Islam secara umum.

Kalau saja Rasulullah masih hidup, saya yakin dia pasti akan menangis melihat umatnya seperti ini. Sebab penyakit mental yang menggerogoti umat Islam saat ini sangat menyimpang jauh dari ajaran-ajaran yang ia bawa.

Tambun, 10 Februari 2013
Pukul 01.35