Belakangan ini saya
melihat ada sesuatu yang unik di situs jejaring sosial. Ada yang membuat
gerakan Indonesia tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal). Entah siapa yang memulai
gerakan itu, saya tidak terlalu mau tahu. Tapi satu yang pasti, entah bagaimana
saya yakin, kalau gerakan itu adalah antitesis dari gerakan Indonesia Tanpa FPI
(Front Pembela Islam). Sebelumnya, tepat pada hari kasih sayang, 14 Februari
2012, puluhan orang yang berasal dari sejumlah organisasi dan perkumpulan,
berdemo di Bunderan HI Jakarta, menyuarakan Indonesia Tanpa FPI.
Gerakan ini
dipicu aksi heroik masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah yang menolak empat
pengurus FPI yang hendak meresmikan FPI cabang Kalteng. Langkah keempat
petinggi FPI itu terhenti di bandara Tjilik Riwut karena ribuan masyarakat
Dayak mengepung pesawat yang membawa petinggi FPI itu. Mereka terkejut campur
takut, sehingga mereka tidak berani turun dari pesawat dan akhirnya diturunkan
di Banjarmasin oleh pihak maskapai.
Setelah
diklarifikasi, masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah menolak FPI bukan karena
organisasi tersebut mengusung panji-panji Islam. Penolakan itu lebih disebabkan
pada citra FPI yang lekat dengan kekerasan dan intoleransi. Kejadian di bandara
Tjilik Riwut itu seperti membuka kotak Pandora. Banyak orang yang terinspirasi
oleh keberanian orang Dayak. Inspirasi itu kemudian terwujud beberapa hari
berikutnya di Jakarta, lewat gerakan Indonesia Tanpa FPI.
Nah, kira-kira
selang seminggu dari demo Indonesia Tanpa FPI, muncul gerakan serupa tapi dari
kutub yang berbeda : Indonesia Tanpa JIL. Entah apa korelasi JIL dengan FPI
sehingga pendukung gerakan itu seakan ingin memunculkan logika, “Kalau menolak
FPI berarti mendukung JIL”. Logika ini bisa dimaklumi kalau inisiator Indonesia
tanpa JIL adalah anggota FPI. Tapi sepertinya gerakan itu tidak terkait
langsung dengan FPI secara organisasi.. entahlah!
Menurut saya,
tidak ada yang baru dari gerakan Indonesia Tanpa JIL. Semangatnya tetap sama,
yakni menolak JIL karena dianggap merusak akidah umat Islam. Ini adalah isu
lama. Isu ini sudah ada sejak munculnya JIL sebelas tahun lalu. Sejak itu
pertarungan gagasan dan ide antara JIL dan penentangnya terus bergulir.
Orang-orang yang mendukung gerakan Indonesia Tanpa JIL seperti kembali meracau
mengenai sakit hati mereka terhadap JIL.
Karena tidak ada
yang baru, maka menurut saya, gerakan Indonesia Tanpa JIL tidak ada urgensinya.
Apa coba urgensinya? Semua gagasan yang dibawa JIL telah dipatahkan jauh-jauh
hari. Beribu-ribu artikel dan buku sudah ditulis untuk meredam gagasan liberalisme
Islam di Indonesia. Terlebih saat ini JIL tidak lagi sekuat dan sebesar dulu.
Jaringan Islam Liberal sudah melemah.
Tahun 2005, JIL
merayakan ulang tahunnya yang keempat di Komunitas Utan Kayu. Pada perayaan
ultahnya, JIL menggelar sejumlah acara disana selama seminggu penuh. Ada
diskusi, pemutaran film dan bazaar buku. Di hari terakhir saya menyempatkan
diri kesana untuk ikut diskusinya. Disana saya melihat betapa meriahnya ulang
tahun JIL. Komunitas Utan Kayu diubah layaknya pasar malam. Pengunjungnya penuh
sesak. Pemandangan seperti itu memunculkan kesan dalam benak saya, betapa besar
dan kuatnya mahluk yang bernama JIL ini.
Tapi selang dua
tahun kemudian, saya kembali menghadiri ulang tahun JIL. Apa yang saya lihat?
Saya tidak melihat gemerlap dan keriuhan yang saya temui dua tahun sebelumnya.
Kali ini ulang tahun JIL begitu sederhana, bahkan terkesan biasa. Kalau tahun
2005 perayaan ultah JIL dilangsungkan selama seminggu penuh dengan beragam
acara, pada tahun 2007 perayaan ultah hanya dilangsungkan selama tiga hari. Itu
pun hanya diisi dengan acara diskusi. Tidak ada pemutaran film, tidak ada
bazaar buku.
Usut punya usut,
perubahan pada JIL itu disebabkan karena organisasi ini telah “ditinggalkan”
oleh punggawa-punggawanya, Ulil Abshar Abdallah, Lutfie Assyaukanie, Abdul
Moqsith Ghazali dan Novriantoni Kahar. Mereka melanjutkan studi ke sejumlah
perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Ulil ke Boston dan Lutfie ke
Australia. Sementara Abdul Moqsith Ghazali melanjutkan studi S3 di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Dan Novriantoni melanjutkan S2 di jurusan
Sosiologi Universitas Indonesia.
Di Indonesia, JIL diurus oleh generasi
keduanya, Saidiman Ahmad, Anick HT dan Mohammad Guntur Romli. Menurut
pengamatan saya, ketiga orang ini tidak semilitan kwartet sebelumnya. Ini juga
yang (mungkin) jadi faktor merosotnya gerilya JIL, termasuk dalam urusan
pendanaan. Terlebih Ulil, Lutfie dan Novri hampir tidak aktif lagi di JIL
karena punya kesibukan baru diluar. Kondisi lima tahun lalu itu tidak jauh
berbeda dengan hari ini.
Penyebaran
gagasan liberal Islam, sebelumnya dilakukan JIL melalui diskusi bulanan,
roadshow ke kampus-kampus, penerbitan buku dan update tulisan di situs
islamlib.com. Tapi kini roadshow ke kampus makin jarang, penerbitan buku hampir
tidak ada. Kegiatan yang masih terlihat, diskusi bulanan dan update tulisan di
situs. Jelas JIL telah melemah. Lantas apa urgensinya melakukan gerakan
Indonesia Tanpa JIL?
Berbeda dengan
gerakan Indonesia Tanpa FPI. Gerakan ini jelas memiliki momentum yang tepat.
Gerakan ini juga sebagai media ekspresi kemuakan masyarakat terhadap ulah,
perangai dan sepak terjang FPI. Gerakan ini juga mempunyai urgensi, yakni
menyelamatkan Indonesia dari ancaman kelompok radikal, serta mengenyahkan
kekerasan dalam kultur kebangsaan Indonesia. Kita semua tahu, radikalisme dan
kekerasan tidak bisa lepas dari mahluk yang bernama FPI.
Sejak berdiri
tahun 1998, entah sudah berapa banyak aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama
yang dilakukan FPI. Mulai dari razia tempat (yang menurut mereka) sarang
maksiat, pelarangan pendirian rumah ibadah, hingga melakukan kekerasan fisik.
Ketika peristiwa Monas terjadi pada 1 Juni 2008, saya melihat sendiri seperti
apa kebrutalan FPI. Kebetulan saat itu saya sedang meliput sejumlah kegiatan di
hari lahir pancasila di kawasan Monas.
Dengan mata
kepala sendiri, saya melihat anggota FPI memukuli para peserta dari Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, AKKBB. Di depan tugu Monas FPI
mengejar dan memukul siapapun yang mereka deteksi sebagai bagian dari AKKBB.
Tidak peduli tua, muda, laki-laki atau perempuan, semua tidak luput dari
kebrutalan FPI.
Dan disana saya
juga melihat betapa aparat polisi tidak berani menghadapi FPI. Puluhan pasukan
perintis yang mengendarai motor dan dilengkapi dengan alat pemukul hanya bisa
menggertak FPI dengan raungan gas motornya. Tidak ada satupun dari aparat yang
berhasil “menyentuh” anggota FPI saat itu. Bahkan hingga aksi penyerangan itu
selesai, aparat membiarkan anggota FPI membubarkan diri dari kawasan Monas.
Sungguh ironis
Kejadian
tersebut hanya satu contoh dari ratusan aksi brutal FPI. Ini belum termasuk
ulah anggota FPI nyang kerap memalaki pengusaha hiburan, nyambi jadi debt collector, jadi massa bayaran dalam kasus sengketa
tanah, dan lain sebaginya. Dari rentetan kenyataan diatas, sudah jelas FPI
adalah ancaman bagi kita semua. Ancaman untuk Indonesia, ancaman untuk Anda,
ancaman untuk saya, ancaman untuk kita semua.
Berbeda dengan
JIL, yang makin hari gerakannya semakin melemah, FPI semakin hari keberadaaanya
justru semakin membesar dang menguat. Ini yang membuat FPI semakin tidak tersentuh
oleh hokum di Indonesia. Jadi urgensi menolak FPI jauh lebih besar daripada
menolak JIL. FPI adalah ancaman nyata bagi kelangsungan Negara kesatuan
Republik Indonesia.
Maka itu saya
heran dengan orang-orang yang mendukung gerakan Indonesia Tanpa JIL. Kenapa
mereka mengusung wacana tersebut di tengah ancaman nyata FPI? JIL itu masalah
kecil bagi Indonesia. Masalah yang lebih besar ada di depan mata, yakni FPI.
Ini sama dengan pepatah yang mengatakan, “Kuman di seberang lautan Nampak,
gajah di pelupuk mata tidak nampak,”. Mau jadi apa orang-orang seperti ini?
Terakhir saya berharap
Indonesia tetap jadi Negara yang steril dari ancaman kelompok radikal. Saya
juga berharap masyarakat terhindar dari virus-virus kebencian yang dibawa oleh
kelompok radikal. Indonesia harus tetap menjadi Indonesia. Negara tidak boleh
kalah dengan ancaman FPI dan kelompok sejenisnya. Untuk Indonesia yang lebih
baik, demi anak dan cucu kita semua.